Kamis, 08 Desember 2011

Rasionalisme, English School, dan Posisi Perspektifnya

Dalam perkembangan studi hubungan internasional, muncul berbagai perspektif yang mencoba menghadirkan aternatif perspektif yang dapat digunakan untuk memandang fenomena hubungan internasional. Rasionalisme hadir sebagai produk dari English School yang kemudian mencoba untuk memberikan kritikan terhadap dua teori mainstream. Rasionalisme pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan yang mendasari berbagai perspektif teoretis. Rasionalisme muncul dalam bentuk pemikiran realisme ataupun liberalisme, yang merupakan dua perspektif teoretis utama dan saling bertentangan dalam studi hubungan internasional. Jika realisme menggambarkan secara pesimis tentang politik internasional sebagai kompetisi antar negara yang terus-menerus untuk mencapai kekuasaan dan keamanan, maka sebaliknya liberalisme melihat politik internasional secara optimis dengan kemungkinan untuk membangun sebuah tatanan dunia yang didasarkan pada aturan hukum, diplomasi terbuka, dan keamanan kolektif.

Dalam terminologi Martin Wight yang merupakan salah seorang tokoh utamanya, English School merupakan “via media” antara realisme dan liberalisme yang mana perspektif ini berada di tengah-tengah antara kedua perspektif tersebut (Linklater, 2005). Namun, English School bukan sebagai sebuah perspektif teoretis yang berusaha untuk mengkombinasikan realisme dan liberalisme, melainkan English School memiliki nilai-nilai penting dari kedua perspektif teoretis yang berbeda tersebut. Layaknya realisme,
English School mengakui eksistensi keadaan anarki dalam hubungan internasional. English School juga percaya setiap negara harus mengupayakan sendiri keamanan dan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, konflik seringkali terjadi di antara negara-negara yang sama-sama mengejar kepentingan mereka. Tetapi, English School tidak mengidentikkan kondisi anarki dengan kondisi perang. Ada tatanan dalam hubungan internasional. Disamping itu, para pendukung English School menekankan perlunya reformasi global sehingga memungkinkan tercapainya keadilan sosial internasional dan perlindungan hak asasi manusia.

Hedley Bull berhasil menggambarkan karakter English School sebagai sebuah perpektif teoretis dengan posisi sebagai via media melalui karyanya dengan judul yang nampak paradoks, The Anarchical Society (1977). Dalam buku tersebut, Hedley Bull berusaha menunjukkan bahwa hubungan internasional tidak semata-mata menggambarkan asumsi-asumsi realis, melainkan juga memiliki aspek-aspek kosmopolitan, yakni pemikiran yang melihat individu sebagai bagian dari umat manusia secara keseluruhan daripada bagian dari sebuah komunitas politik tertentu. Dengan memperkenalkan konsepsi masyarakat internasional, English School memberikan pembedaan dirinya dari realisme yang melihat hubungan internasional sebagai perjuangan menggapai kekuasaan (struggle for power) semata-mata dalam kerangka sistem internasional. Konsep masyarakat internasional juga membedakan English School dari liberalisme yang cenderung menganggap tatanan dunia saat ini sebagai langkah awal bagi terbentuknya sebuah komunitas politik universal yang akan menjamin keadilan bagi seluruh umat manusia.

English School menempatkan masyarakat internasional sebagai sebuah kategori yang lebih ideal yang memungkinkan terpenuhinya keadilan bagi setiap individu. Lebih konkritnya, English School begitu menaruh perhatian pada upaya-upaya untuk mengubah sistem internasional ke arah masyarakat internasional yang meliputi bagaimana norma-norma dan institusi-institusi dikembangkan untuk mencegah kecenderungan penggunaan kekuatan yang terpusat. Tatanan (order) dan keadilan (justice) merupakan dua tujuan esensial yang seringkali sulit untuk dikombinasikan dalam upaya transformasi menjadi masyarakat internasional. Konflik antara keinginan untuk mencapai tatanan dan keadilan tetap berlangsung sampai sekarang. Konflik antara keinginan untuk membangun tatanan dan mencapai keadilan juga muncul dalam kaitannya dengan perbedaan gagasan mengenai keadilan. Pada kondisi ini, upaya untuk memaksakan sebuah konsepsi keadilan kepada anggota masyarakat yang lain cenderung memperlemah upaya untuk membangun masyarakat internasional. Oleh karena itu, posisi English School cenderung menolak dua prinsip yang saling bertentangan: universalisme dan relativisme, yang pertama menggambarkan pemikiran mengenai kesatuan nilai, yang kedua menggambarkan partikularisme nilai. English School juga memberikan penekanan pada penghargaan kepada pluralitas tanpa terjebak pada relativitas nilai dan menekankan pentingnya nilai dominan untuk memahami dan mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda.

Pembahasan mengenai konlik antara tatanan dan keadilan ini merupakan isu yang sangat fundamental bagi para pendukung English School karena transformasi ke arah masyarakat internasional sedang berlangsung yang berkaitan dengan perluasan konsepsi masyarakat internasional ke luar masyarakat Eropa (Bull and Watson, 1984). Walaupun berbagai negara di luar Eropa telah mengadopsi berbagai norma dan institusi tertentu yang dibangun atau berkembang di Eropa, banyak di antara negara-negara tersebut yang menolak norma dan institusi lain yang juga berkembang di Eropa, yang disebutnya sebagai “revolt against the West.“ Bull (dalam Linklater, 2005) mengidentifikasi lima bentuk revolusi terhadap Barat oleh negara-negara di luar Eropa. Pertama, perjuangan untuk memperoleh kesamaan status sebagai negara berdaulat, seperti yang ditujukkan oleh Cina dan Jepang. Kedua, perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan yang berlangsung di banyak daerah-daerah koloni atau jajahan. Perjuangan ini menggambarkan revolusi politik. Ketiga, revolusi rasial untuk menentang perbudakan dan perdagangan budak sebagai bentuk supremasi rasial. Keempat, revolusi ekonomi untuk menentang berbagai bentuk ketidakmerataan serta eksploitasi akibat sistem perdagangan dan keuangan global yang didominasi Barat. Kelima, revolusi kultural, yakni penolakan terhadap bentuk-bentuk imperialisme kultural. Upaya-upaya universalisasi konsepsi hak azasi manusia yang didasarkan pada individualme liberal, misalnya, secara jelas menggambarkan revolusi kultural ini. Revolusi-revolusi terhadap Barat ini pada dasarnya menggambarkan prinsip-prinsip yang sangat berbeda. Sementara revolusi terhadap Barat dalam bentuknya yang pertama sampai keempat menggambarkan keinginan negara-negara bukan Barat untuk menyamai Barat dengan membentuk norma-norma dan institusi-institusi yang berkembang di Barat seperti kedaulatan, kebebasan ataupun kesederajadan, prinsip kelima menggambarkan penolakan terhadap nilai-nilai lain yang juga berkembang di Barat. Karena revolusi-revolusi ini, dalam berbagai bentuknya yang berbeda, terus berlangsung, sulit untuk membayangkan hasil akhir dari perjuangan melawan Barat ini dalam kaitannya dengan berkembangnya sebuah masyarakat internasional yang bersifat global.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa English School yang membawa pemikiran rasionalisme telah memposisikan dirinya dengan memunculkan perbedaan antara perspektifnya (rasionalisme) dengan realisme dan liberalisme dengan menjunjung tinggi masyarakat internasional sebagai sesuatu yang diharapkan dapat terwujud. Namun hal ini menjadikan dirinya seolah-olah tidak bisa menjustifikasi posisinya dalam menganalisa hubungan internasional karena sebenarnya masih banyak lagi hal-hal substansial yang harus dikaji seperti hubungan antara moral dan teori politik yang dihadirkan secara parsial sehingga kurang bisa dijadikan sebagai pendirian yang normatif.





Referensi



Bull, H. 1997. The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics. London

Bull, H. and Watson, A. 1984. The Expansion of International Society. Oxford

Linklater, Andrew. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Palgrave Camillan.

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar