Kamis, 08 Desember 2011

Feminisme

Feminisme : Dekonstruksi Emansipatoris Feminisme, Dunia Di Tangan Wanita

Woman was made from the rib of man.

She was not created from his head to top him, nor from his feet to be stepped upon.

She was made from his side to be close to him, from his beneath his arm to be protected by him, near his heart to be loved by him.

-Anonymous-


Ranah hubungan internasional merupakan kondisi yang begitu kompleks dimana banyak sekali fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan sebagai hubungan antar negara. Negara-negara diangap sebagai aktor begitu dominan dan memainkan peran sentral dalam hubungan internasional menurut perspektif realisme. Menurut pandangan realisme, negara akan menjunjung tinggi kepentingannya dan tidak akan segan mempertahankannya dengan cara berkonflik sekalipun. Adanya negara yang secara struktural dominan dalam hubungan internasional ini kemudian membuat peran wanita termarginalkan. Hal ini terjadi karena individu yang memegang kendali di balik negara adalah pada umumnya kaum pria. Hal ini lah yang kemudian membuat feminisme berkembang menjadi suatu paham dan bahkan gerakan yang secara perlahan mengubah struktur sistemik dari sistem dunia pada era kontemporer. Peran dan kesempatan bagi wanita dalam berbagai posisi karir dan jabatan semakin luas oleh karena pertimbangan emansipasi wanita ini.

Strategi dan Taktik Negosiasi Integratif

Strategi dan Taktik Negosiasi Integratif

Negosiasi adalah bentuk kegiatan yang kerap dilakukan dalam semua level kehidupan. Berdasarkan cara mencapai keputusan dan pemenuhan kepentingannya, ada dua macam negosiasi yaitu distributive negotiation dan integrative negotiation. Distributive negotiation lebih akrab dikenal sebagai negosiasi yang bersifat win-lose atau zero sum sedangkan integrative negotiation dikenal sebagai negosiasi yang bersifat win-win. Harvard Business Essentials (2003) memaknai negosiasi integratif sebagai proses negosiasi dimana pihak-pihak yang terlibat mengintegrasikan kepentingan-kepentingan yang dimiliki untuk dapat memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Ada beberapa ciri yang membedakan negosiasi integratif dengan negosiasi distributif yang diantaranya adalah sebagai berikut :

• fokus terhadap persamaan dibandingkan perbedaan;

• mengedepankan kebutuhan dan kepentingan, bukan posisi;

• berkomitmen untuk mempertemukan kebutuhan dan kepentingan dari seluruh pihak yang terlibat;

• pertukaran informasi dan ide antar negosiator;

Konsep-konsep dasar negosiasi

Konsep-Konsep Dasar Negosiasi : Negosiasi Distributif dan Negosiasi Integratif

Negosiasi merupakan salah satu aspek dalam diplomasi yang sering kali dilakukan dalam upaya mencapai kepentingan yang diusung. Negosiasi dilakukan jika ada konflik dari dua pihak atau lebih yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan sebuah solusi namun solusi tersebut belum ditemukan. Jadi negosiasi dilakukan untuk menemukan sebuah kesepakatan yang menjadi solusi atas suatu konflik. Dalam hal bagaimana kesepakatan terbentuk, ada dua jenis negosiasi. Yang pertama adalah Distributive Negotiation yang dideskripsikan sebagai negosiasi antara dua pihak dimana masing-masing pihak memiliki fixed value yang saling dipersaingkan. Setiap pihak akan bersaing untuk mendapatkan keuntungan lebih. Setiap keuntungan bagi satu pihak, merupakan kerugian bagi pihak lain. Jadi, jika kesepakatan tercapai, ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan atau dikorbankan kepentingannya. Istilah zero sum atau win-lose juga dapat digunakan untuk menggambarkan negosiasi jenis ini (Harvard Business Essentials, 2003). Dalam negosiasi jenis ini, reputasi atau relationship dari pihak-pihak yang terlibat negosiasi tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap jalannya negosiasi karena masing-masing pihak akan berusaha untuk mendapatkan value semaksimal mungkin. Contoh dari negosiasi ini adalah ketika Indonesia bersengketa dengan Malaysia soal kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya diajukan ke Mahkamah Internasional. Malaysia mendapatkan keuntungan karena berhasil mendapatkan Sipadan dan Ligitan dan Indonesia akhirnya harus merugi. Dalam menjalankan distributive negotiation, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat menjalankan negosiasi dengan sukses. Informasi menjadi hal yang sangat penting apalagi informasi mengenai pihak lawan negosiasi. Pembocoran informasi kepada pihak lawan merupakan suatu hal yang harus dihindari karena hal tersebut akan menjadi sangat merugikan. Informasi yang diperoleh digunakan untuk menentukan tawaran pertama yang harus dilakukan secara proporsional.

Negosiasi Bilateral : Perundingan Camp David

Negosiasi Bilateral : Perundingan Camp David

Negosiasi menurut jumlah pihak yang terlibat dibedakan menjadi dua, yaitu negosiasi bilateral yang diikuti oleh dua pihak dan negosiasi multilateral atau multipartai yang diikuti oleh banyak pihak. Dalam negosiasi bilateral pun terdapat bermacam-macam cara dalam pelaksanaannya. Camp David Negotiation adalah salah satu contoh dari negosiasi bilateral yang melibatkan pihak ketiga untuk ikut membantu proses pelaksanaan negosiasi dengan cara mediasi serta menggunakan sebuah teknik negosiasi yang dikenal dengan Single Negotiating Text. Perundingan Camp David ini melibatkan dua pihak yaitu Anwar Sadat, Presiden Mesir dan Menachem Begin, Perdana Menteri Israel serta Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat yang berperan sebagai mediator. Carter mengundang Sadat dan Begin ke Camp Daivid, tempat peristirahatan presiden Amerika Serikat di Frederick County, Maryland, pada bulan September 1979.

Perjalanan menuju perundingan Camp David dimulai sekitar awal tahun 1977. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Henry Kissinger dalam menyelesaikan konflik Arab-Israel mulai ditinggalkan dan Presiden Jimmy Carter dan sekretaris negara Cyrus Vance memiliki cara baru. Beberapa perundingan sempat dilakukan misalnya konferensi Jenewa yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Dalam konferensi tersebut, beberapa pihak yang berkepentingan tidak hadir dalam konferensi tersebut, misalnya Syria karena isu yang menimpa Palestina, Israel karena tidak mau menyetujui PLO yang dianggap organisasi teroris dan bukan representasi rakyat Palestina, serta Mesir yang keberatan dengan peraturan yang ditetapkan oleh Uni Soviet.

Kontruktivisme

Kontruktivisme : Pengetahuan dan Dunia yang Terkontruksikan

Istilah konstruktivisme begitu populer dalam perdebatan di studi hubungan internasional sejak tahun 1990. Bahkan, menurut tiga scholar utama studi HI kontemporer, Robert Keohane, Stephen Krasner dan Peter Katzenstein, konstruktivisme akan menjadi penantang utama aliran Rasionalisme (Realisme dan Liberalisme) dalam great debate HI yang akan datang. Sebelum masuk melanda displin Hubungan Internasional HI, konstruktivisme terlebih dahulu masuk dan mendobrak kemapanan positivisme dalam filsafat ilmu pengetahuan. Saat itu, kata “konstruksi” dipakai untuk menantang jargon “temuan” (invention dan discovery) yang diusung para positivis. Para positivis menganggap bahwa melalui usaha-usaha mereka yang membuahkan teori-teori, mereka dapat menemukan kebenaran. Para positivis menganggap bahwa the truth is out there, sehingga tugas para ilmuwan, menurut mereka, adalah menjangkau kebenaran yang obyektif itu. Saat kebenaran itu terjangkau, saat itulah mereka “menemukan” kebenaran. Kebenaran, menurut positivis, dapat ditemukan.

Postmodernisme

Posmodernisme : Dekonstruksi Intertekstual Menuju Genealogi, Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Teori-teori mainstream dalam studi hubungan internasional kembali mendapat tantangan yang menggoyahkan kemapanannya. Adalah posmodernisme yang kemudian mencoba untuk menggunakan perspektifnya untuk menganalisa hubungan internasional dari sudut pandang yang khas dan tentu saja berbeda dari teori-teori mainstream. Jika melihat terminologinya, posmodernisme merupakan pemikiran yang hadir dari untuk memberikan sesuatu yang baru bagi moedernisme. Modernisme memiliki pandangan bahwa realitas adalah sebagai satu keutuhan yang ditata berdasarkan prinsip rasionalitas (Sahal dan Nuroni, 1993). Posmodernisme hadir dengan memberikan prefix “pos” atau “post” pada terminologi modernisme yang kemudian memberikan artian yang berbeda. Prefix “pos” memiliki artian yang lebih dari sekedar prefix “neo” dan “anti”. Suatu terminologi jika mendapatkan prefix “neo” maka ia merupakan hasil dari rekonstruksi atau pembaruan-pembaruan tertentu dari terminologi yang diikutinya. Terminologi yang mendapatkan prefix “anti” maka ia merupakan sebuah antitesis atau negasi dari terminologi yang diikutinya. Sedangkan “pos” atau “post” dapat memberikan arti bahwa ia adalah hasil dari dekonstruksi yang secara otomatis membahas sesuatu yang diluar pengetahuan. Dengan demikian, terminologi posmodernisme dapat berarti sebuah kajian yang merupakan hasil dekonstruksi dari apa yang disebut dengan modernisme berdasarkan interkontekstual dan kontekstual yang ada dalam modernisme itu sendiri.

Rasionalisme, English School, dan Posisi Perspektifnya

Dalam perkembangan studi hubungan internasional, muncul berbagai perspektif yang mencoba menghadirkan aternatif perspektif yang dapat digunakan untuk memandang fenomena hubungan internasional. Rasionalisme hadir sebagai produk dari English School yang kemudian mencoba untuk memberikan kritikan terhadap dua teori mainstream. Rasionalisme pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan yang mendasari berbagai perspektif teoretis. Rasionalisme muncul dalam bentuk pemikiran realisme ataupun liberalisme, yang merupakan dua perspektif teoretis utama dan saling bertentangan dalam studi hubungan internasional. Jika realisme menggambarkan secara pesimis tentang politik internasional sebagai kompetisi antar negara yang terus-menerus untuk mencapai kekuasaan dan keamanan, maka sebaliknya liberalisme melihat politik internasional secara optimis dengan kemungkinan untuk membangun sebuah tatanan dunia yang didasarkan pada aturan hukum, diplomasi terbuka, dan keamanan kolektif.

Dalam terminologi Martin Wight yang merupakan salah seorang tokoh utamanya, English School merupakan “via media” antara realisme dan liberalisme yang mana perspektif ini berada di tengah-tengah antara kedua perspektif tersebut (Linklater, 2005). Namun, English School bukan sebagai sebuah perspektif teoretis yang berusaha untuk mengkombinasikan realisme dan liberalisme, melainkan English School memiliki nilai-nilai penting dari kedua perspektif teoretis yang berbeda tersebut. Layaknya realisme,