Kamis, 08 Desember 2011

Kontruktivisme

Kontruktivisme : Pengetahuan dan Dunia yang Terkontruksikan

Istilah konstruktivisme begitu populer dalam perdebatan di studi hubungan internasional sejak tahun 1990. Bahkan, menurut tiga scholar utama studi HI kontemporer, Robert Keohane, Stephen Krasner dan Peter Katzenstein, konstruktivisme akan menjadi penantang utama aliran Rasionalisme (Realisme dan Liberalisme) dalam great debate HI yang akan datang. Sebelum masuk melanda displin Hubungan Internasional HI, konstruktivisme terlebih dahulu masuk dan mendobrak kemapanan positivisme dalam filsafat ilmu pengetahuan. Saat itu, kata “konstruksi” dipakai untuk menantang jargon “temuan” (invention dan discovery) yang diusung para positivis. Para positivis menganggap bahwa melalui usaha-usaha mereka yang membuahkan teori-teori, mereka dapat menemukan kebenaran. Para positivis menganggap bahwa the truth is out there, sehingga tugas para ilmuwan, menurut mereka, adalah menjangkau kebenaran yang obyektif itu. Saat kebenaran itu terjangkau, saat itulah mereka “menemukan” kebenaran. Kebenaran, menurut positivis, dapat ditemukan.

Teori-teori besar yang pada perjalannnya sering dikritik, disanggah, direvisi, dikritik lagi, dan seterusnya membuat beberapa orang berpikir bahwa seolah-olah kebenaran itu sebuah permainan para ilmuwan, yang saat ini dinyatakan benar, bulan depan dinyatakan salah. Tidak ada kebenaran yang sifatnya tetap dan statis. Namun, layaknya para ilmuwan, mereka yang berpikir tadi masih mendambakan suatu “kebenaran”. Akhirnya mereka mencoba mengkompromikan pemikirannya, dan dihasilkanlah gagasan bahwa kebenaran adalah konstruksi subyektif, dan bukan temuan obyektif. Ilmuwan sebenarnya mengkonstruksi realitas lewat teorinya. Ia memberi makna pada realitas yang ia ketahui. Hanya, ia menahbiskan temuannya sebagai suatu temuan yang obyektif. Dengan kata lain, subyektifitasnya menjadi dasar bagi temuan yang ia sebut-sebut obyektif.

Berangkat dari pemikiran filosofis, kontruktivisme masuk ke dalam ranah studi ilmu hubungan internasional sebagai suatu pendekatan baru dalam melihat fenomena hubungan internasional. Great Debate ketiga dalam HI merupakan saat dimana konstrruktivisme menunjukkan eksistensinya. Saat itu sedang terjadi perdebatan sengit antara pemikiran aliran utama (mainstream) seperti Realisme-Neorealisme, Liberalisme-Neoliberalisme, dan Marxisme-Neomarxisme, melawan pemikiran-pemikiran alternatif seperti Teori Kritis dan Posmodernisme. Saat Robert Cox (1981), seorang teoritisi kritis, menyatakan bahwa teori adalah untuk sesorang dan untuk suatu tujuan dan Richard Ashley (1988) membongkar gagasan kedaulatan (sovereignty), sesungguhnya genderang perang besar di studi HI sedang ditabuh. Kubu mainstream jelas tidak terima karena objektivitas ilmu yang selama ini mereka sembah, kini ditelanjangi oleh Cox. Gagasan kedaulatan yang melandasi praktik kenegaraan, yang notabene menjadi prasyarat utama teori-teori HI mereka, kini dipreteli oleh Ashley.

Robert O. Keohane, seorang Neoliberalis Institusional, membalas dengan caranya sendiri. Ia melabeli pemikir-pemikir seperti Cox dan Ashley sebagai “reflektivis,” yang hanya bisa merefleksikan teori-teori yang sudah ada. Sementara dia dan kolega-koleganya sebagai “rasionalis,” yang teori-teorinya didasari pada pertimbangan rasional dan menjunjung tinggi rasionalitas. Kritikan yanh begitu pedas yang ditujukan kepada Ashley adalah: “sampai pemikir reflektifis tidak mulai memikirkan kontribusinya bagi studi HI (selain ber-refleksi ria), maka mereka akan tetap ada pada pinggiran akademi … merupakan hal yang memalukan tentunya.”(Keohane, 1989). Ketegangan di antara kedua kubu ini semakin kuat sejak kubu reflektivis menarik simpati ilmuwan-ilmuwan muda yang “muak” dengan status quo, dan semuanya menulis buku-buku yang merefleksikan HI dan ke-HI-an. Sementara, kubu rasionalis tetap dengan keacuhannya pada kubu reflektivis.

Mencoba memecahkan kebuntuan akademik dalam HI, beberapa akademisi HI mencoba menawarkan jalan tengah. Adalah Nicholas Onuf dan Alexander Wendt yang mencoba menjebatani jurang pemisah di antara rasionalis dan reflektivis. Bahkan, Onuf sendiri yang pertama kali mengumumkan istilah “konstruktivisme” dalam HI. Kaum konstruktivis berambisi untuk menjadi penyeimbang antara positivisme dan pospositivisme. (Sorensen dan Jackson, 1999). Di satu sisi, konstruktivis sepakat dengan kaum positivis bahwa tori-teori empiris dapat dibangun untuk menjelaskan hubungan internasional. Kaum konstruktivis hanya mencoba menjelaskan dunia (Wendt, 1992). Di sisi lain konstruktivis juga sepakat dengan pospositivis yang menekankan pentingnya pemikira dan pengetahuan bersama dalam menganalisis pemahaman subjektif (Sorensen dan Jackson, 1999)

Dalam hubungan internasional, konstruktivisme mengambil pemikiran rasionalisme untuk digunakan sebagai kritikan. Para pemikir rasionalisme, baik yang klasik (realisme dan liberalisme) maupun yang struktural (neorealisme dan neoliberalisme) sepakat bahwa sistem yang ada dalam sistem internasional adalah anarki. Liberalisme dan Neoliberalisme beranggapan bahwa struktur dunia yang anarki begitu determinatif dalam memaksa negara-negara yang ada di bawah sistem internasional tersebut untuk salingh berkooperasi dan bekerjasama secara rasional. Realisme dan Neorealisme juga memiliki pemahaman senada tentang bagaimana sistem anarki menjadi faktor determinan setioap perilaku negara yang ada dalam sistem internasional, memaksa negara untuk selalu bersikap agresif-represif dan terkadang bersifat preventif-preemtif. Pada intinya, keduanya sepakat bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh negara adalah sebagai sebuah respon dari adanya sistem internasional yang anarki yang menjadi determinan. Pola-pola tersebut berlaku secara berulang bagi masing-masing teori. Inilah yang memunculkan kritik dari konstruktivisme yang kemudian menjadi landasan pemikirannya.

Menanggapi pemikiran rasionalisme (baik realisme dan liberalisme), konstruktivisme beranggapana bahwa sistem anarki (baik kooperatif maupun konfliktual) adalah merupakan hasil konstruksi psikologis dari negara yang mengalaminya. Sistem internasional yang anarki dan segala perilaku negara sebagai akibat dari keanarkian bukanlah sesuatu yang given, melainkan sesutau yang dikonstruksikan. Dalam hal ini, Alexander Wendt, menjelaskan bahwa “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara” (Wendt, 1992). Perilaku negara baik kooperatif maupun konfliktual dikonstruksikan dengan sendirinya oleh negara, tergantung bagaimana negara tersebut memandang suatu keadaan yang kemudian menjadi determinan bagi negara untuk bersikap. Contoh realitas yang menggambarkan berjalannya teori konstruktivisme digambar oleh Wendt dalam Sorensen dan Jackson (1999), 500 buah senjata nuklir Inggris sedikit mengancam Amerika Serikat jika dibandingkan dengan 5 buah senjata Korea Utara. Hal ini dikarenakan konstruksi Amerika Serikat terhadap Inggris yang dianggap sebagai teman, sedangkan Korea Utara tidak pernah terlibat suatu hubungan dengan Amerika Serikat, bahkan Korea Utara merupakan negara kontra-demokrasi, tidak seperti Amerika Serikat.

Perkembangan teori konstruktivisme sangat terbantu dengan berbagai kritikannya terhadap rasionalisme. Salah satu objek kritikannya adalah kritikan terhadap neoliberal, yang merupakan bagian dari teori rasional. Pada dasarnya, ada tiga asumsi para neoliberalis yang menjadi objek kritik oleh para konstruktivis. Asumsi pertama dari neoliberalis yang mendapat kritikan adalah neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Asumsi yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara tergenerasikan oleh sistem anarki internasional. Sedangan asumsi yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor (Zehfuss, 2002).

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa konstruktivisme merupakan salah satu varian dan alternatif baru dalam melihat, menjelaskan, dan memahami hubungan internasional. Kontribusi konstruktivisme tidak hanya terbatas pada ilmu hubungan internasional saja, namun juga meluas pada tataran ilmu filsafat yang mencoba menunjukkan bahwa kebenaran atau realitas adalah sesuatu yang constructed, bukan given. Berbagai teori-teori hubungan internasional yang telah mapan seraya digoyahkan kemapanannya dengan berbagai kritikan dari konstruktivis terhadapnya. Hal ini menjadikan teori konstruktivis begitu distinct diantara teori-teori yang lain dalam hubungan internasional.





Referensi :



Ashley, Richard. 1988. Untying the Sovereign State. Millenium: Journal of International Studies.

Cox, Robert. 1981. Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Studies.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Oxford University Press : New York

Keohane, Robert. 1989. International Institutions: Two Approaches. International Studies Quarterly. Vol. 32. No. 4. (Dec., 1988), hal 392.

Wendt, Alexander. 1992. Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics. International Organization.

Zehfuss, Maja. 2002. Constructivism in International Relations : The Politics of Reality. Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar