Kamis, 08 Desember 2011

Negosiasi Bilateral : Perundingan Camp David

Negosiasi Bilateral : Perundingan Camp David

Negosiasi menurut jumlah pihak yang terlibat dibedakan menjadi dua, yaitu negosiasi bilateral yang diikuti oleh dua pihak dan negosiasi multilateral atau multipartai yang diikuti oleh banyak pihak. Dalam negosiasi bilateral pun terdapat bermacam-macam cara dalam pelaksanaannya. Camp David Negotiation adalah salah satu contoh dari negosiasi bilateral yang melibatkan pihak ketiga untuk ikut membantu proses pelaksanaan negosiasi dengan cara mediasi serta menggunakan sebuah teknik negosiasi yang dikenal dengan Single Negotiating Text. Perundingan Camp David ini melibatkan dua pihak yaitu Anwar Sadat, Presiden Mesir dan Menachem Begin, Perdana Menteri Israel serta Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat yang berperan sebagai mediator. Carter mengundang Sadat dan Begin ke Camp Daivid, tempat peristirahatan presiden Amerika Serikat di Frederick County, Maryland, pada bulan September 1979.

Perjalanan menuju perundingan Camp David dimulai sekitar awal tahun 1977. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Henry Kissinger dalam menyelesaikan konflik Arab-Israel mulai ditinggalkan dan Presiden Jimmy Carter dan sekretaris negara Cyrus Vance memiliki cara baru. Beberapa perundingan sempat dilakukan misalnya konferensi Jenewa yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Dalam konferensi tersebut, beberapa pihak yang berkepentingan tidak hadir dalam konferensi tersebut, misalnya Syria karena isu yang menimpa Palestina, Israel karena tidak mau menyetujui PLO yang dianggap organisasi teroris dan bukan representasi rakyat Palestina, serta Mesir yang keberatan dengan peraturan yang ditetapkan oleh Uni Soviet.
Presiden Mesir Anwar Sadat mengadakan kunjungan ke Jerussalem dan berunding dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pada November 1977. Sadat, dalam hal ini bertindak sebagai juru bicara untuk semua kepentingan negara-negara Arab, meminta pengembalian semua wilayah yang diduduki seperti Semenanjung Sinai, tepi barat wilayah Jordan, Dataran Tinggi Golan di Siria serta kembalinya Jerussalem Timur sebagai ganti perdamaian dan normalisasi hubungan dengan Israel. Begitu pula dengan Begin, dia tampak senang dengan prospek negosiasi yang dilakukan Israel dengan Mesir, selama kedua belah pihak fokus terhadap isu-isu bilateral yang terjadi.

Perdamaian yang akan tercapai dengan Mesir memberikan keuntungan di bidang militer bagi Israel. Israel dapat terhindar dari masalah keamanan dengan kembalinya Dataran Tinggi Golan ke Siria dan tepi barat ke Jordan. Namun, ada indikasi dengan terjadinya perdamaian, Sadat akan berusaha untuk mendapatkan sebuah perjanjian dari Israel yang isinya memberikan hak otonomi kepada Palestina terhadap jalur Gaza dan West Bank. Hak yang diberikan kepada Palestina nantinya akan memperbesar kemungkinan Palestina untuk bisa mengembangkan lebih jauh mengenai kesepakatan tersebut. Untuk mempermudah proses negosiasi yang sedang berlangsung, Sadat dan Begin menyetujui diadakannya rapat setingkat 2 menteri di Ismalia. Di ranah militer telah disepakati adanya pengembalian tentara Israel dari Sinai agar kesepakatan damai kedua negara dapat tercapai. Di ranah politik telah disepakati adanya pemberian otonomi kepada Palestina terhadap wilayah tepi barat dan Jalur Gaza dan menginginkan adanya konstruksi dari Declaration of Principles supaya terbentuk “framework” untuk tercapainya perundingan perdamaian.

Peran Amerika Serikat terlihat dari teknik yang dilakukannya dalam memediasi Sadat dan Begin. Mereka menggunakan single negotiation text untuk menengahi proses negosiasi kedua negara yang sangat alot. Single text negotiation ini diusulkan oleh Roger Fisher dari fakultas hukum univeritas Harvard yang menempatkan mediator bagi pihak-pihak yang bernegosiasi. Mediator bisa mengajukan usulan solusi yang kemudia masih bisa diperiksa dan dikoreksi oleh pihak-pihak yang bernegosiasi. Penggunaan SNT ini juga biasa diterapkan pada perundingan tingkat internasional, terutama perundingan yang melibatkan banyak pihak. Amerika Serikat mulai memberikan penawaran solusi di SNT 1 tapi kemudian dikritisi oleh kedua pihak karena kedua pihak protes proposal yang diajukan oleh Amerika sangat konyol. Sadat meminta Amerika Serikat tidak menjadikan hal terebut sebagai hasil akhir perundingan dan menjadikannya sebagi dokumen yang dikritisi untuk membuat perjanjian yang lebih layak. Setelah Sadat dan Begin mengajukan keberatan, Amerika Serika mengajukan solusi berupa SNT-2, meskipun menurut kedua belah pihak SNT-2 lebih baik dibandingkan dengan SNT-1 tapi mereka belum bisa menerima SNT-2 tersebut. Kemudian Amerika Serikat meninjau kembali SNT-3, kemudian SNT-4 dan SNT-5. Mungkin masih ada keuntungan bersama yang bisa didapat jika Mesir menyetujui SNT-4. Mengingat Israel tidak dapat menerima SNT-4, maka SNT-4 pun tidak diterima, padahal jika Israel juga menerima SNT-4, Israel mendapatkan sedikit keuntungan yang berlebih dibandingkan Mesir. Jika SNT-5 dideasin untuk menguntungkan salah satu pihak, maka pihak lain akan dirugikan. Titik X dalam gambar yang terdapat dalam bahan menunjukkkan tentang composite reservation value. Mesir hanya ingin mencapai suatu kesepakatan tidak ingin mencapai suatu perjanjian begitu pula dengan Israel yang hanya ingin mencapai suatu kesepakatan. Dengan demikian, kedua belah pihak menyetujui adanya sebuah kesepakatan di titik X daripada terbentuknya sebuah perjanjian.

Perundingan Camp David yang terjadi pada 1979 antara Mesir dan Israel memiliki salah satu agenda yang paling sulit yaitu saat membahas mengenai semenanjung Sinai. Kedua belah pihak tidak mau memberikan konsesi teritorial. Dengan kata lain, baik Mesir maupun Israel sama-sama berkeinginan untuk menguasai wilayah semenanjung Sinai. Perundingan berlangsung alot dan hampir menemui jalan buntu. Namun, setelah proses negosiasi yang panjang dan berhari-hari, para mediator perundingan ini menemukan bahwa meskipun Mesir dan Israel memiliki keinginan yang sama untuk menguasai semenanjung Sinai, tetapi Mesir dan Israel memiliki kebutuhan yang berbeda. Mesir menginginkan semenanjung Sinai karena kebutuhan akan adanya pengakuan kedaulatan, sedangkan Israel menginginkan Sinai karena membutuhkan jaminan keamanan. Disinilah letak kejelian mediator yang dalam kasus ini diperankan oelh Amerika Serikat. Amerika Serikat mencoba untuk mencari tahu apa yang menjadi kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dengan berbagai proposal SNTnya. Perlu adanya sutau kepekaan dari Amerika Serikat yang berperan sebagai mediator untuk mengidentifiki perbedaan sehingga menciptakan SNT-5. Kepekaan untuk mengidentifikasi perbedaan kebutuhan itulah yang akhirnya menghasilkan terobosan kesepakatan yang menarik : menciptakan zona demiliterisasi yang berada di bawah naungan bendera Mesir. Kedua negara itu puas dengan hasil kesepakatan karena kebutuhannya sama-sama terpenuhi.



Referensi :

Raiff, Howard. 2003. The Art and Science of Negotiations. Cambridge : The Belknap Press of Harvard University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar