Kamis, 08 Desember 2011

Postmodernisme

Posmodernisme : Dekonstruksi Intertekstual Menuju Genealogi, Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Teori-teori mainstream dalam studi hubungan internasional kembali mendapat tantangan yang menggoyahkan kemapanannya. Adalah posmodernisme yang kemudian mencoba untuk menggunakan perspektifnya untuk menganalisa hubungan internasional dari sudut pandang yang khas dan tentu saja berbeda dari teori-teori mainstream. Jika melihat terminologinya, posmodernisme merupakan pemikiran yang hadir dari untuk memberikan sesuatu yang baru bagi moedernisme. Modernisme memiliki pandangan bahwa realitas adalah sebagai satu keutuhan yang ditata berdasarkan prinsip rasionalitas (Sahal dan Nuroni, 1993). Posmodernisme hadir dengan memberikan prefix “pos” atau “post” pada terminologi modernisme yang kemudian memberikan artian yang berbeda. Prefix “pos” memiliki artian yang lebih dari sekedar prefix “neo” dan “anti”. Suatu terminologi jika mendapatkan prefix “neo” maka ia merupakan hasil dari rekonstruksi atau pembaruan-pembaruan tertentu dari terminologi yang diikutinya. Terminologi yang mendapatkan prefix “anti” maka ia merupakan sebuah antitesis atau negasi dari terminologi yang diikutinya. Sedangkan “pos” atau “post” dapat memberikan arti bahwa ia adalah hasil dari dekonstruksi yang secara otomatis membahas sesuatu yang diluar pengetahuan. Dengan demikian, terminologi posmodernisme dapat berarti sebuah kajian yang merupakan hasil dekonstruksi dari apa yang disebut dengan modernisme berdasarkan interkontekstual dan kontekstual yang ada dalam modernisme itu sendiri.


Salah satu sub bahasan yang ada pada posmodernisme adalah genealogi neorealisme. Sebagai sebuah perspektif dalam hubungan internasional, genealogi memiliki arti tersendiri. Jika secara epistemologi genealogi adalah ilmu yang mempelajari tentang asal usul (sejarah) mengenai sesuatu, maka, dengan mengkombinasikan definisi dari Devetak, genealogi dapat berarti asal usul mengenai sesuatu yang dipandang secara kontekstual yang dikarenakan nilai-nilai sejarah memiliki andil dalam mengkonstruksi pemikiran penulis yang kemudian dapat berdampak pada hasil tulisannya (Devetak, 2005). Dalam memahami nilai-nilai konstruktivisme diperlukan adanya pendekatan multiperspektif, karena bagi seorang posmodernis, perspektif adalah sesuatu yang paling esensial dan fundamental (Nietzsche, 1969). Kontribusi dari genealogi yang dibawa oleh posmodernisme bagi hubungan internasional adalah bagaimana genealogi mencoba memberikan benang merah antara klaim terhadap ilmu pengetahuan dengan klaim terhadap power dan otoritas yang menjadi bahasan inti dari neorealisme. Genealogi menjelaskan bahwa neorealisme terbentuk dari realisme yang terekonstruksi kembali dengan mendapat sentuhan dari hal-hal yang bersifat struktural. Sederhananya, neorealisme terbentuk dari perspektif realisme dan strukturalisme dimana keduanya masih memiliki genealogi masing-masing yang berbeda berdasarkan nilai-nilai yang muncul di lingkungan konseptor dari masing-masing perspektif.

Sub bahasan lain dalam posmodernisme adalah intertekstualitas dalam hubungan internasional. Bahasan ini menjadi begitu esensial karena hubungan internasional dapat didekonstruksikan, dipahami, dan dibaca secara ganda (double reading) yang dikarenakan adanya interkontekstualitas dalam hubungan internasional. Pembacaan ganda ini terjadi layaknya pembacaan pada sebuah teks, namun teks dalam terminologi ini memiliki pengertian yang berbeda dari teks yang dipahami sebagai literatur atau entitas yang lainnya. Dalam posmodernisme, teks dipahami sebagai sebuah obyek ontologi yang begitu luas, bahkan saking luasnya, oleh Derrida, hubungan internasional dapat dikategorikan sebagai sebuah “teks” (Derrida, 1988). Textual interplay yang dijelaskan oleh Derrida digunakan untuk menjelaskan hubungan internasional sebagai sebuah objek ontologi yang hanya dapat dijelaskan dengan cara menginterpretasikan hasil interpretasi lebih dari sekedar menginterpretasikan teks secara umum yang sudah ada. Metode ini kemudian bercabang menjadi dua yaitu dekonstruksi dan pembacaan ganda (double reading). Konsepsi Derrida ini kemudian banyak dikenal dan dipakai sebagai rujukan oleh para posmodernis ketika menggunakan metode dekonstruksi.

Sebagai kelanjutan dari dekontruksi, diplomasi kontemporer yang dipahami sekarang adalah serangkaian aktivitas yang terjadi secara prosedural dilakukan oleh sebuah negara dengan negara lain dimana dalam proses diplomasi tersebut terdapat negosiasi, lobbying, dll. Namun, jika diplomasi ini didekonstruksikan maka akan didapatkan genealogi baru dari diplomasi. Derrida, sebagai pembawa metode dekonstruksi, menjelaskan bahwa terdapat oposisi biner dari suatu konsep yang bersifat parasit struktural dari konsep tersebut. Seperti namanya, oposisi biner merupakan lahir dan menjadi oposisi dari konsep yang sama tersebut. Dengan demikian, dekonstruksi terhadap diplomasi yang juga dimungkinkan untuk menghadirkan oposisi biner akan diperkirakan dapat memberikan sebuah genealogi mengenai diplomasi yang berbeda antara diplomasi klasik dan diplomasi kontemporer. Dengan digunakannya metode dekonstruksi maka akan didapatkan hal baru dalam diplomasi.

Posmodernisme juga merupakan sebuah perspektif yang antipositivisme. Titik berat dari antipositivisme adalah segala sesuatu yang anti terhadap kemapanan, terlebih dalam ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial mengkaji tentang fenomena sosial, dimana fenomena sosial adalah sebuah entitas yang tidak bisa diukur secara dan dipetakan secara stuktural. Hal ini dikarenakan fenomena sosial selalu berhubungan dengan intersubyektif manusia. Penelitian-penelitian yang dilakukan yang bersifat prosedural dan ilmiah tidak serta merta dapat menjamin keobjektifan sebuah pengetahuan, karena meskipun penelitian dilakukan dengan metode dan langkah-langkah yang ilmiah, nilai-nilai konstruktivisme akan terus hadir untuk mempengaruhi dan mengkonstruksi pemikiran manusia akan suatu entitas yang menjadi objek pengamatan. Hal ini dikarenakan manusia adalah sebuah entitas subjektif, oleh karena itu tidak pengetahuan yang objektif menurut para antipositivisme (Perry, 1999). Hal ini membuat ontologisme posmodernisme menjadi khas. Ontologisme dalam posmodernisme tidak berujung pada hal-hal yang bersifat define, melainkan pada sejauh mana suatu ruang lingkup atau objek kritik masih memiliki potensi kritik. Dengan demikian, posmodernisme akan terhindarkan dari sebuah finalitas. Jika posmodernisme telah mencapai suatu finalitas, maka ia akan kehilangan makna dari “pos” yang melekat pada terminologi posmodernisme itu sendiri dan kembali pada modernisme.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa posmodernisme hadir di tengah-tengah studi hubungan internasional dengan membawa cara dan metode baru dalam menjelaskan hubungan internasional. Dekonstruksi dan double reading menjadi salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan genealogi yang dapat dicapai melalui dekonstruksi terhadap sbeuah entitas, dimana hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di luar pengetahuan. Posmodernisme juga tidak berujung pada sebuah finalitas pada sebuah entitas dan lebih cenderung untuk bertahan pada sebuah potensi kritik yang akan terus hadir dalam sebuah entitas karena jika posmodernisme berujung pada sebuah finalitas, maka ia akan kehilangan esensi ke’posmodernisme’annya.







Referensi



Davetak, Richard. 2004. Theories of International Realations : Postmodernism. PalgraveMacmillan : New York.

Nietzsche, F. 1969. On the Genealogy of Moral, and Ecce Homo. New York

Derrida, Jacques. 1988. Limited Inc. Evanston.

Perry, Beth. 1999. Summary of Positivist and Anti-positivist. Positions the Social Science PGCE group. University of Leicester.

Sahal, Ahmad dan Heni Nuroni. 1993. Postmodernisme dan Media Barat. Dalam Kompas, 24 Agustus 1993. Diakses dari www.freedom-institute.org pada 8 Juni 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar