Kamis, 08 Desember 2011

Feminisme

Feminisme : Dekonstruksi Emansipatoris Feminisme, Dunia Di Tangan Wanita

Woman was made from the rib of man.

She was not created from his head to top him, nor from his feet to be stepped upon.

She was made from his side to be close to him, from his beneath his arm to be protected by him, near his heart to be loved by him.

-Anonymous-


Ranah hubungan internasional merupakan kondisi yang begitu kompleks dimana banyak sekali fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan sebagai hubungan antar negara. Negara-negara diangap sebagai aktor begitu dominan dan memainkan peran sentral dalam hubungan internasional menurut perspektif realisme. Menurut pandangan realisme, negara akan menjunjung tinggi kepentingannya dan tidak akan segan mempertahankannya dengan cara berkonflik sekalipun. Adanya negara yang secara struktural dominan dalam hubungan internasional ini kemudian membuat peran wanita termarginalkan. Hal ini terjadi karena individu yang memegang kendali di balik negara adalah pada umumnya kaum pria. Hal ini lah yang kemudian membuat feminisme berkembang menjadi suatu paham dan bahkan gerakan yang secara perlahan mengubah struktur sistemik dari sistem dunia pada era kontemporer. Peran dan kesempatan bagi wanita dalam berbagai posisi karir dan jabatan semakin luas oleh karena pertimbangan emansipasi wanita ini.


Perspektif feminisme pada intinya memiliki asumsi dasar yang sama dengan teori-teori alternatif lainnya, yaitu dengan semangat emansipatoris ingin membebaskan wanita dari “belenggu” yang secara sosial maupun struktural wanita dikonstruksikan sebagai subordinasi dari pria. Singkatnya, feminisme ingin mewujudkan sebuah ekualitas antara wanita dan pria (Nisbah. 2003). Asumsi yang general ini kemudian terus berkembang dan terbagi menjadi beberapa diskursus yang didasarkan pada konstruksi pemikiran dari para feminis yang ada. Sosialis-marxis feminisme muncul sebagai salah satu varian dari feminisme. Perspektif ini mengangkat tentang eksploitasi terhadap wanita yang dilakukan oleh pria dan mengusahakan adanya pembebasan wanita dari eksploitasi kaum pria (Ehrenreich, 1976). Hal ini senada dengan feminisme empiris yang juga mengangkat isu mengenai eksploitasi wanita sebagai akibat dari globalisasi ekonomi yang kemudian memunculkan inequality terhadap kaum wanita (True, 2005). Feminisme analitis juga mencoba mendekonstruksi kembali perspektif mengenai feminisme dan maskulinisme yang secara asimetris terkonstruksikan secara sosial (True, 2005). Pengkajian kembali mengenai gender ini juga merupakan bagian dari diskursus feminisme posmodern yang juga hadir untuk mengkritik konstruksi sosial dan struktual mengenai keberadaan wanita yang tersubordinasikan, melalui metode pembacaan teks dan bahasa dengan menggunakan metode genealogi dan dekonstruksi dalam mencari dan membedah konstruksi wanita yang secara sosial termajinalkan (Butler, 1999).

Menduduki posisi atau jabatan penting dalam yang lebih tinggi daripada pria merupakan sesuatu yang tabu dan bahkan haram menurut konstruksi sosial pada umunya. Pandangan sosial mainstream yang membelenggu inilah yang ingin diruntuhkan hegemoninya oleh kaum feminis. Ketika Margareth Tatcher terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris, Gloria Macapagal Arroyo sebagai Presiden Filipina, Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia, dan banyak lagi posisi-posisi penting yang dapat dijabat oleh wanita, perspektif dan gerakan feminisme begitu menguat. Inilah yang menjadi tujuan utama feminisme dalam emansipasi atau pembebasan secara politik bagi para wanita, dimana secara politis feminisme memperjuangkan posisi-posisi yang dahulu hanya dapat diduduki oleh pria dan akan sangat tabu jika yang menduduki posisi-posisi tersebut adalah wanita. Meritocracy menjadi spirit dari emansipasi ini, dimana yang memiliki kemampuanlah yang dapat menduduki posisi penting tersebut, tanpa melihat gender. Jika kemampuan berpolitik ternyata juga dimiliki oleh wanita, maka wanita juga berhak menduduki jabatan dan posisi politis dengan tidak lagi terbelenggu oleh wanita. Hal ini dicontohkan dengan berbagai kebijakan untuk menambah kuota bagi politisi wanita di berbagai negara termasuk Indonesia.

Dalam level analisis hubungan internasional, perspektif yang berangkat dari pergerakan sosial untuk membebaskan wanita dari belenggu konstruksi sosial dan struktural ini kemudian mencoba mendobrak dominasi realisme (dan turunannya, neorealisme) yang menjadi paham mainstream dominan dalam ilmu hubungan internasional. Diskursus realisme dalam hubungan internasional menitikberatkan pada peran signifikan dan sentral dari negara karena realisme bertumpu pada sistem westphalian. Dengan demikian, wacana-wacana yang marak muncul selalu berbau perang dan konflik, atau minimal dibumbui dengan “kekerasan”. Hal ini menunjukkan betapa “maskulin”nya wacana-wacana dalam realisme, seakan tidak memberikan celah sedikit bagi “kefeminiman” untuk ikut masuk dalam ranah hubungan internasional. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran feminisme dalam level analisis hubungan internasional. Feminisme menginginkan adanya perubahan dala hubungan internasional dimana aktor negara dengan segala bentuk kompleksitas konfliknya tidak lagi menjadi satu-satunya wacana yang mendominasi hubungan internasional. Feminisme liberal bergerak lebih masif lagi untuk menyuarakan pembebasan dari sistem internasional yang seperti ini. Feminisme menginginkan adanya pengakuan terhadap aktor-aktor lain selain negara yang secara jelas terlibat dalam hubungan internasional sehingga pluralitas dalam hubungan internasional menjadi hal yang diidam-idamkan oleh feminis liberal (Hooks, 1984)

Sejalan dengan keinginannya untuk mendobrak pemikiran bahwa hubungan internasional yang hanya didominasi oleh negara dengan segala kompleksitas permasalahannya yang konfliktual, feminisme memiliki pandangan tersendiri menangai konflik yang bagi mereka tidak sepatutnya diselesaikan dengan cara konflik. Feminisme menginginkan gerakan yang damai dan bersifat kooperatif dalam menyelesaikan segala bentuk permasalahan internasional. Contoh nyata dari upaya feminisme untuk menciptakan perdamaian adalah adanya gerakan wanita Amerika yang bernama Women’s Strike for Peace di awal 1960, gerakan yang concern terhadap peperangan ideologi AS berbenturan dengan ideologi komunisme Uni Soviet. Disini begitu terlihat peran keibuan dari naluri seorang wanita yang mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional (Ticker, 2002). Dalam bentuk kooperasi, kontribusi feminisme dimanifestasikan berupa tindakan negosiasi atau diplomasi yang secara epistemologis tindakan tersebut merupakan sikap utama kaum feminis dalam mendukung pandangan liberalisme yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan sebuah perspektif yang mencoba menunjukkan eksistensi dan siginifikansi wanita dengan mendobrak konstruksi sosial dan struktural yang mendiskreditkan wanita dan menunjukkan bahwa wanita, dengan esensi psikologis dan emosi yang dimilikinya, mampu menghadirkan politik yang etis dan bermoral. Namun, yang menjadi titik balik dari feminisme adalah kekhawatiran akan dominasi emosi yang begitu kental dari wanita yang mempengaruhi rasionalitasnya dan kurangnya kapabilitas feminisme dalam mendobrak konstruksi yang telah ada terhadap wanita yang dikarenakan konstruksi tersebut telah terlanjur tertanam dan melekat secara sosial.







Referensi



Nisbah. 2003. Varian-varian Feminisme Sebagai Sebuah Gerakan. Diakses dari http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 pada 14 Juni 2010



Ehrenreich, Barbara. 1976. What is Socialist Feminism. WIN Magazine http://dx.doi.org/10.1080/09699089800200034 diakses pada 14 Juni 2010



Butler, Judith. 1999. Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York: Routledge



Hooks, Bell. 1984. Feminist Theory: From Margin to Center Cambridge, MA: South End Press



True, Jacqui. 2004. Theories of International Realations : Postmodernism. PalgraveMacmillan : New York.



Ticker, Aann. 2002. Feminist Perspective on International Relations. London : SAGE Publications

Tidak ada komentar:

Posting Komentar