Kamis, 03 September 2009

Sastra Indonesia I

Sastra Indonesia I

PERIODE 1900-1933

”Bacaan Liar” dan Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)

Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah.Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk putera.

Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.

Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).

Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti.




Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).

Pengarang lain yang produktif adalah seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, kemudian terbit beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924)


Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.

Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.

Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.

Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi

Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang “Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.

Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil. Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.

M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata ……….. (1932).

Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah.

Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.

Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.

BUKAN BETA BIJAK BERPERI

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.

Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.

Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.

Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.

Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.

Namun ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyair melihat bangsanya yang berada dalam cengkaraman penjajah, misalnya dalam sajak yang berjudul “Mengeluh”. Di dalam sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.

MENGELUH

I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.

Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.

Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.

II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?

Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?

Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.

Di situlah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.

Balai Pustaka dan Roman-romannya

Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda Teruna (1922) yang berupa hikayat.

Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan. Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul Memang Jodoh.

Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.

Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.

Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M. Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.

Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij (tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.

Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.

Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927. sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Hal itu akan nyata sekali dalam salah sebuah soneta yang terdapat dalam Puspa Mega Sanusi Pane sebagai berikut :

TEJDA

Lihat langit sebelah barat
Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega

Makin lama muram cahaya;
Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.

Keluh kesah menurut awan,
Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,

Hatiku menangis dipalu rawan,
Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus.

Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan

Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a banyak bercerita tantang cintanya.

Dapat kau memberitahukan daku.
Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?

Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).

Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).


source: www.geocities.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar